Acapkali
terlewatkan dalam sejarah perang dunia II adalah keberadaan dan peran dari
negara sekutu atau negara kolaborator
Jepang di Asia. Negara-negara Asia ini secara formal melakukan aliansi dengan
Jepang melawan pihak Allies yang
terdiri Uni Soviet, Perancis, Belanda, Amerika Serikat, China dan Inggris. Pemerintahan
Negara sekutu Jepang ini umumnya didominasi oleh sentimen anti-komunis dan
anti-barat dimana Jepang menjadi pemimpin dalam melawan hegemoni keduanya. Secara
ringkas dalam konteks kekuatan diplomatik dan militer, negara sekutu Jepang ini
dapat dibagi menjadi dua pihak. Pertama adalah negara Thailand sebagai sekutu
terkuat Thailand di Asia serta negara-negara boneka Jepang.
Keberpihakan
Thailand terhadap Jepang bisa dilihat dari naiknya Jenderal Plaek Phibunsongkhram
(Phibun) sebagai Perdana Menteri Thailand pada tahun 1939. Phibun merupakan pengagum
pemimpin fasis Italia, Benito Mussolini. Sebagaimana Mussolini, Phibun menginginkan
modernisasi dan militerisasi di Thailand. Hal ini dapat dimaklumi dengan
rawannya posisi Thailand dan semakin berkembangnya nasionalisme Thailand pada
dasawarsa 1930-an. Thailand pada awal perang Pasifik merupakan satu-satunya negara
kerajaan di Asia Tenggara yang belum jatuh ke tangan kolonial barat.
Sepanjang
dasawarsa tahun 1890-1930, wilayah Thailand semakin berkurang dengan ekspansi
Inggris dan Perancis. Thailand pada masa pemerintahan PM Phibun, terkepung oleh
wilayah penjajahan Perancis di sebelah timur, dan wilayah penjajahan Inggris di
barat. Dengan kemunculan PM Phibun, sentimen anti imperialisme Eropa semakin
menguat. Sentimen anti Eropa ini sangat kental terutama terhadap Perancis, yang
ketika itu dipandang sebagai ancaman utama Thailand. Perancis dan Thailand
sempat berperang pada tahun 1893 yang berakhir dengan semakin memudarnya
pengaruh Thailand diwilayah Indochina seperti Laos dan Kamboja.
Kekuatan
militer Thailand pun mengalami modernisasi dengan penggunaan peralatan perang
modern dari Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Jepang. Dengan kekuatan baru
dibawah kepimpinan PM Phibun, Thailand pada Oktober tahun 1940 pun mulai menginvasi
wilayah Indochina-Perancis. Angkatan bersenjata Thailand ketika itu berjumlah
60.000 personel dengan dua ratus lebih pesawat tempur dan tank. Dengan mediasi
Jepang, perang Thailand-Perancis ini berakhir dengan penyerahan sejumlah
wilayah Perancis di Indochina kepada Thailand pada 9 Mei 1941. Selain kekuatan
militer, secara diplomatik Thailand juga memiliki pengaruh di kancah perpolitikan
internasional. Thailand merupakan anggota Liga Bangsa-Bangsa dan memiliki
hubungan diplomatik dengan banyak negara Barat. Alhasil, sebagaimana Jepang, negara
Thailand dibawah PM Phibun muncul sebagai negara Asia modern dengan sentimen anti
imperialisme Eropa.
Dengan
keterkaitan akan memiliki musuh yang sama, Hubungan Thailand dan Jepang pun
juga semakin erat pada awal-awal pemerintahan PM Phibun. Jepang juga membantu
Thailand dalam memodernisasi angkatan lautnya. Namun, paska mediasi Jepang
dalam Perang Thailand-Perancis tahun 1940-1941, Phibun menyadari bahwa Jepang
memiliki ambisi untuk memasukkan seluruh wilayah Indochina kedalam
pendudukannya. Jepang pun mengetahui bahwa buruknya hubungan Jepang dengan
negara-negara Eropa merupakan peluang bagi Jepang untuk melebarkan pengaruhnya
di Thailand.
Jepang
pun menginvasi Thailand pada 8 Desember 1941, sebagai bagian dari operasi
militer Jepang untuk menguasai Semenanjung Malaka dan Burma. Thailand pun
terjebak dilema antara melawan Jepang sendirian atau menyerah dan kemudian
bergabung dengan Jepang melawan Allies.
Setelah melawan serangan Jepang selama sehari, Thailand menyatakan gencatan
senjata pada tanggal 9 Desember 1941. 5 Hari kemudian, Thailand sepakat untuk
mengirim tentaranya dalam membantu Jepang menginvasi Burma dan Malaka, serta
memberi akses tidak terbatas bagi Jepang di wilayahnya. Thailand dan Jepang
secara formal sepakat untuk beraliansi pada 21 Desember 1941.
Sekalipun
sempat berperang, Hubungan Jepang dan Thailand kemudian tetap dalam hubungan
bilateral dua negara yang sederajat. Jepang menganggap Thailand sebagai
sekutunya sebagaimana Jerman bersekutu dengan Bulgaria atau Romania. Thailand
tetap dapat mengatur hubungan domestik pemerintahan dan militernya. 35.000
tentara Thailand kemudian berpartisipasi dalam operasi militer Jepang di Burma.
Wilayah Thailand pun semakin luas dengan Jepang mengizinkan Thailand untuk menganeksasi
beberapa bagian wilayah Burma.
Namun
hubungan Jepang dan Thailand semakin memburuknya seiring dengan brutalnya sikap
tentara Jepang di wilayah Thailand serta dengan semakin meningkatknya prospek
akan kekalahan Jepang dalam perang Pasifik. Perekonomian Thailand pun semakin
buruk akibat ketergantungan perdagangan Thailand dengan Jepang. Gerakan Seri Thai atau Free Thai yang anti Jepang dan anti pemerintahan Phibun pun muncul.
PM Phibun akhirnya mundur pada 1 Agustus 1944 digantikan oleh Khuang Abhaiwongse.
PM Khuang masih melanjutkan dukungan Thailand terhadap Jepang, namun dia juga
secara diam-diam mendukung gerakan Seri
Thai. Rencana pemberontakan nasional terhadap pendudukan Jepang di Thailand
pun semakin mencuat.
Namun
peristiwa penjatuhan Bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki, serta menyerahnya
Jepang pada tanggal 14 Agustus menciptakan kondisi politik baru di Thailand.
Rencana pemberontakan gerakan Seri Thai
terhadap pendudukan Jepang ketika itu pun dibatalkan. Pridi Phanomyong dari
gerakan Seri Thai kemudian menjadi PM
Thailand pada tahun 1946. Dia menyatakan bahwa kesepakatan 25 Januari 1942,
dimana bahwa Thailand menyatakan kesediannya bersekutu dengan Jepang, adalah
illegal dan tidak konstitusional. PM Pridi berhadap dengan pembatalan kesepakatan
tersebut, Thailand dapat terhindar tuntutan penyerahan dan hukuman dari kubu
Allies.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus